Bisnis alat berat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha pertambangan. Maklum saja sektor ekstraksi sumber daya alam ini masih merupakan pasar terbesar alat berat selama ini, dan dalam dua tahun terakhir terus mengalami pelemahan akibat gejolak harga komoditas tambang, terutama batubara, dan komplikasi berbagai persoalan lainnya.
Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang dikeluarkan pemerintah tiap bulan, sejak awal 2014 terus mengalami penurunan dari US$ 81,9 menjadi US$ 65,7/MT pada November 2014. Artinya, harga salah satu sumber energi ini telah turun anjlok 19,7%. Padahal ketika batu bara sedang kinclong, harga mencapai puncak US$ 127/MT. Itu terjadi pada Februari 2011. Nah, jika dihitung dari harga tertinggi tersebut, harga batu bara ini sudah turun hingga 48,2%.
Fluktuasi pasar komoditas batu bara itu lalu berdampak pada penjualan alat berat. PT. United Tractor Tbk, misalnya, sepanjang tahun 2014 harus melakukan beberapa kali revisi atas target penjualannya. Semula target penjualannya sebanyak 4.494 unit alat berat pertambangan. Namun target itu kemudian direvisi menjadi antara 3.700-3.800 unit. Sampai sekarang pun secara year on year turun kurang lebih 10 persen.
“Pengusaha batu bara semula optimistis mematok target perkembangan bisnis, tetapi akhirnya terpaksa menunda rencana ekspansinya,” terang Sekretaris Perusahaan United Tractors, Sarah Loebis. Sampai akhir tahun, penjualan sektor pertambangan turun 36 persen meski angka penjualan ini masih lebih besar dari sektor kontruksi, infrastruktur dan lainnya.
Untuk tahun 2015, anak usaha PT Astra Indonesia ini hanya mematok target penjualan alat berat pertambangan sebanyak 4.000 unit saja. Jika dibandingkan dengan realisasi penjualan alat berat pertambangan tahun 2013 sebanyak 4.200 unit, target tersebut turun 4,76%. Sementara, jika dibandingkan target penjualan alat berat pertambangan tahun 2014 yang sebesar 3.700-3.800 unit, target 2015 itu masih lebih besar 5,26%-8,12%.
Meski begitu, perseroan masih menaruh harapan besar pada pertumbuhan sektor pertambangan ini. “Meski terjadi pelemahan, masih ada perusahaan tambang batu bara yang melakukan kegiatan produksi. Kebutuhan alat berat tetap ada, setidaknya untuk menggantikan alat berat yang rusak,” imbuh Sarah.
Selain itu, perseroan juga akan fokus pada layanan purna jual untuk meningkatkan kemampuan alat berat atau memperpanjang masa kerja. Menurut Sasrah, upaya ini dilakukan sebagai bentuk dukungan bagi perusahaan tambang yang sedang melakukan efisiensi.
Sebagai informasi, dalam 9 bulan pertama tahun 2014, perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini telah menjual 2.982 unit produk alat berat merk Komatsu. Angka tersebut menunjukkan penurunan dibanding periode yang sama tahun lalu. Dalam sembilan bulan pertama tahun sebelumnya (2013), UNTR berhasil menjual 3.303 unit. Kontribusi pelemahan terbesar datang dari sektor pertambangan yang turun 43% tahun 2013 menjadi 35% pada kuartal ketiga tahun 2014.
Menghadapi kondisi pasar pertambangan yang makin lesu, perseroan ini berusaha mengimbangi dengan terus meningkatkan kontribusi dari sektor-sektor lain seperti konstruksi, infrastruktur dan perkebunan. Namun kontribusi dari sektor-sektor selain tambang terbilang kecil karena kebutuhan alat berat tidak sama baik dari sisi jumlah maupun kapasitas.
Meski demikian, janji pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla untuk mempercepat pembangunan infrastrtuktur, terutama pembangunan tol laut, menumbuhkan gairah baru di sektor alat berat konstruksi. Realisasi rencana tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan penjualan alat pada 2015. Menurut Penasihat Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi), Pratjojo Dewo, saat ini produksi alat berat dalam negeri 85 persen ditujukkan untuk pasar domestik dan hanya 15 persen untuk ekspor.
“Jadi, harapan kami sekarang tinggal realisasi proyek infrastruktur dari pemerintahan yang baru. Kami harap alat berat produksi anak bangsa lebih diutamakan,” ujar Pratjojo berharap.
Produksi alat berat pada kuartal III tahun 2014 turun 20 persen, dari 1.734 unit pada periode yang sama tahun lalu menjadi 1.563 unit. Sedangkan produksi alat berat Januari – September 2014 turun 21 persen atau hanya 3.855 unit dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mampu mencapai 4.894 unit.
Pertumbuhan bakal flat
Bagaimana prediksi harga batu bara pada 2015? PT. United Tractors Tbk memprediksi masih berlanjutnya tren pelemahan harga jual batubara tahun depan. Itu sebabnya perusahaan berkode UNTR di Bursa Efek Indonesia ini hanya menganggarkan belanja modal Rp 350 miliar, sama dengan 2014.
Namun, perusahaan yang 59,5% sahamnya dimiliki PT Astra International itu masih berharap ada secercah harapan pada kinerjanya tahun depan. Meski perusahaan ini pasrah dengan lesunya penjualan alat berat untuk sektor tambang, namun tidak demikian dengan proyeksi penjualan alat konstruksi dan juga perkebunan.
Sarah bilang, fokus pemerintahan Joko Widodo yang menggenjot pertumbuhan proyek infrastruktur akan memberikan peluang lebih besar bagi UNTR untuk menambah porsi penjualan alat berat konstruksi. Perusahaan ini berharap bisa mengail untung pada proyek jalan tol, pelabuhan dan jembatan.
Namun, Sarah belum berani menyebut target penjualan tahun depan. Dia beralasan, baru bisa memprediksi target penjualan pasca proyek itu melewati proses pembebasan lahan.
Leasing lesu
Penurunan penjualan alat-alat berat berdampak langsung terhadap performa bisnis industri pembiayaan. Bisnis pembiayaan ikut tiarap menyusul merosotnya penjualan alat-alat berat. Diperkirakan prospek industri ini masih menurun pada tahun 2015 akibat harga komoditas pertambangan yang masih di level bawah.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno memperkirakan, harga berbagai komoditas, terutama hasil pertambangan belum bisa bangkit sampai pertengahan tahun depan. Alhasil, permintaan alat berat pun bakal tetap merosot.
Menurut prediksi Suwandi, penyaluran pembiayaan alat berat tahun depan akan turun sekitar 10% dari tahun ini. “Sepertinya penurunan di alat berat akan terus berlanjut,” kata Suwandi belum lama ini.
Kondisi tersebut mendesak perusahaan-perusahaan multifinance yang fokus pada pembiayaan alat berat untuk melakukan diversifikasi bisnis mulai dari membuka segmen pembiayaan baru hingga memperluas segmen pembiayaan alat berat ke pasar-pasar yang belum dimaksimalkan.
Menurut Suwandi, salah satu pasar alat berat yang kian digarap lebih serius oleh industri sejak awal tahun ini adalah segmen konstruksi. Pada tahun depan, upaya penetrasi ke segmen ini sepertinya akan makin besar. “Sebagian besar lari ke arah situ,” ia memprediksikan.
Tetapi pasar alat berat konstruksi yang terus menggeliat itu belum bisa menggantikan kontribusi industri pertambangan. Sektor ini tetap menjadi penopang utama permintaan alat berat. Tak heran, hingga akhir tahun ini, pembiayaan alat berat diperkirakan melorot antara 15% sampai 20% dibanding tahun lalu akibat kelesuan industri tambang.
Beberapa multifinance berencana memperbesar porsi pasar pembiayaan ke sektor-sektor non pertambangan. Buana Finance, contohnya, yang mengincar segmen konstruksi dan perkebunan. “Kami juga lihat potensi untuk memperbesar pembiayaan mesin,” kata Direktur Buana Finance, Herman Lesmana.
Sampai kuartal ketiga tahun ini, pelemahan permintaan alat berat dari segmen pertambangan menyebabkan kinerja Buana Finance menurun. Booking baru sampai September turun sekitar 10% menjadi sekitar Rp 1,7 triliun.
BFI Finance juga mencatatkan penurunan di bisnis pembiayaan alat berat. Hingga kuartal ketiga, porsi pembiayaan alat berat menurun dari 12% menjadi 9% dari periode yang sama tahun lalu.
Untungnya, bisnis BFI tertolong pembiayaan konsumer terutama di segmen mobil second, sehingga pendapatan mereka masih terdorong 21% menjadi Rp 1,6 triliun.
Sumber : http://www.equipmentindonesiamagazine.com/
No comments:
Post a Comment